A.    KONTITUSI INDONESIA
Untuk mengetahui konstitusi yang diterapkan di Indonesia, dapat kita  lihat dari berbagai ahli dalam mengkladifikasikannya. Para ahli  mengklasifikasikan konstitusi menjadi beberapa bentuk konstitusi.  Klasifikasi ini umumnya didasarkan pada sejumlah hal, pertama dilihat  dari dokumen tersebut dikodifikasikan atau tidak. Kedua, dilihat dari  prosedur peerubahan konstitusi; Ketiga, dilihat dari organisasi dan  struktur kekuasaan yang menggunakan konstitusi tersebut dalam  menjalankan kekuasaan. 
C.F. Strong 
Membagi konstitusi menjadi dua kategori, yaitu: 
1.    Konstitusi bernaskah (codified constitution) serta konstitusi tidak bernaskah (non-codified constitution); dan 
2.    Konstitusi lentur (flexible constitution) dan konstitusi kaku (rigid constitution). 
Strong menggunakan istilah documentary dan non-documentary constitution  sebab menurutnya pembedaan konstitusi menjadi konstitusi tertulis  (written constitution) dan konstitusi tidak tertulis (unwritten  constitution) adalah suatu pembedaan yang keliru dan menyesatkan.  Kekeliruan tersebut diakibatkan oleh karena tak ada satupun konstitusi  di dunia yang seluruhnya tertulis, maupun sebaliknya tidak ada satupun  konstitusi yang seluruhnya tidak tertulis. Bahkan Wheare menyatakan,  klasifikasi semacam ini written and unwritten constitution sebaiknya  dibuang saja. Pendapat ini diperkuat oleh Jan-Erik Lane, yang  mengatakan:  “Tak ada satu pun negara yang hidup seratus persen sesuai  dengan dokumen-dokumen tertulisnya. Hukum adat memainkan peranan yang  besar dalam konstitusi setiap negara di dunia.
Namun, pada kenyataanya pengklasifikasian  konatituai tertulis dan tidak  tertulis, menjadi sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan. Strong pun  mengakui adanya kategorisasi ini, khususnya untuk sebuah kebutuhan yang  lebih praktis. Tetapi, dia kembali menegaskan sesungguhnya konstitusi  tertulis adalah konstitusi yang terdokumentasi, sedangkan konstitusi  tidak tertulis ialah konstitusi yang tak terdokumentasi.
Sementara pada kategorisasi konstitusi menjadi konstitusi lentur  (flexible) dan konstitusi kaku (rigid), Strong  menyandarkannya  klasifikasinya pada ada tidaknya prosedur khusus untuk mengubah  amandemen suatu konstitusi. Konstitusi yang dapat diubah atau  diamandemen tanpa menyaratkan adanya suatu prosedur khusus, Strong  menyebutnya sebagai konstitusi lentur flexibel constitution. Sebaliknya,  bilamana suatu konstitusi menyeratkan adanya prosedur khusus, jika akan  dilakukan perubahan maka konstitusi tersebut termasuk dalam kategori  konstitusi kaku rigid constitution.
K.C. Wheare 
Melakukan klasifikasi konstitusi ke dalam enam kategori, yang lebih  terperinci bila dibandingkan dengan klasifikasi Strong. Menurut Wheare,  konstitusi terdiri dari:
1.    Konstitusi tertulis dan tidak tertulis(written and unwritten constitution). 
2.    Konstitusi lentur dan kaku (flexible and rigid constitution).
3.    Konstitusi derajat tinggi dan bukan derajat tinggi (supreme and not supreme constitution).
4.    Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan (federal constitution and unitary constitution). 
5.    Konstitusi sistem presidensil dan konstitusi sistem parlementer  (presidential constitution and parliamentary constitution).
6.    Konstitusi republik dan konstitusi kerajaan (republican constitution and monarchi constitution).
Pemilahan konstitusi menjadi derajat tinggi dan tidak tinggi (supreme  and not supreme constitution), disandarkan atas posisi, kedudukan  konstitusi tersebut terahadap peraturan perundang-undangan lainnya.  Dilihat pula dari syarat pengubahannya, apakah berbeda ataukah sepadan  dengan cara mengubah peraturan perundang-undangan biasa. Sementara  pembedaan menjadi konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan federal and  unitary constitution, dilakukan berdasar pada bentuk negara di mana  konstitusi tersebut diterapakan. Selanjutnya, klasifikasi konstitusi  presidensial dan konstitusi parlementer presidential and parliamentary  constitution, dipilah dengan dasar perbedaan sistem pemerintahan dalam  negara tempat konstitusi tersebut dianut. Sedangkan kategorisasi  konstitusi republik dan konstitusi kerajaan, dipisahkan dengan melihat  siapa kepala negara dan pemegang kekuasaan tertinggi tempat konstitusi  tersebut diberlakukan.
Hans Kelsen
Mengategorisasikan konstitusi menjadi tiga kategori, yaitu: 
1.    Konstitusi lentur dan konstitusi kaku—flexibel and rigid constitution.
2.    Konstitusi republik dan konstitusi kerajaan—republican and monarchi constitution. 
3.    Konstitusi demokrasi dan konstitusi otokrasi—democratie and otrocratie constitution.
     Catatan Kelsen untuk klasifikasi konstitusi lentur dan kaku, kedua  klasifikasi ini berlaku baik bagi konstitusi tertulis maupun konstitusi  tidak tertulis. Perbedaannya hanya terletak pada, jika konstitusi  tertulis norma-normanya dibentuk oleh tindakan legislative, sedangkan  konstitusi tidak tertulis norma-normanya dibentuk oleh kebiasaan. Bahkan  terdapat pula konstitusi yang mempunyai karakter hukum undang-undang,  sekaligus berkarakter hukum kebiasaan. Lebih lanjut kelsen menjelaskan,  sekaku apapun sebuah konstitusi, hanya kaku terhadap hukum  undang-undang, bukan hukum kebiasaan. Artinya tidak ada kemungkinan  hukum dapat mencegah diubahnya suatu konstitusi dengan cara kebiasaan. 
Mengenai pemilahan konstitusi menjadi konstitusi demokrasi dan  konstitusi otokrasi, Kelsen berangkat dari ide dasar tentang kebebasan  politik. Artinya klasifikasi konstitusi dilakukan dengan melihat dari  sejauh mana masyarakat turut serta dan terlibat dalam pembentukan  tatanan hukum. Suatu konstitusi dikatakan demokratis bilamana memberikan  ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan tatanan  hukum, kehendak yang dinyatakan dalam tatanan hukum negara identik  dengan kehendak dari para subjek tatanan hukum tersebut. Sedangkan  konstitusi otokrasi adalah konstitusi yang tidak menyertakan para subjek  hukum, warganegara dalam pembentukan tatanan hukum negara, dan  keselarasan antara tatanan hukum dengan kehendak para subjek hukum sama  kali tidak terjamin.
     Dari pendapat beragam ahli tersebut, dapat dirangkum bahwa klasifikasi konstitusi meliputi: 
1.    Konstitusi bernaskah dan konstitusi tidak bernaskah (codified constitution and non-codified constitution); 
2.    Konstitusi tertulis dan tidak tertulis (written and unwritten constitution); 
3.    Konstitusi lentur dan kaku (flexible and rigid constitution); 
4.    Konstitusi derajat tinggi dan bukan derajat tinggi—(supreme and not supreme constitution); 
5.    Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan (federal constitution and unitary constitution); 
6.    Konstitusi sistem presidensil dan konstitusi sistem  parlementer—(presidential constitution and       parliamentary  constitution); 
7.    Konstitusi republik dan konstitusi kerajaan (republican constitution and monarchi constitution);
8.    Konstitusi demokrasi dan konstitusi otokrasi—(democratie and otrocratie constitution).
     Dengan klasifikasi tersebut, konstitusi Indonesia dapat  diklasifikasikan sebagai sebuah konstitusi yang terkodifikasi, tertulis,  cukup rigid, kaku karena memerlukan prosedur khusus jika akan dilakukan  amandemen, tidak seperti prosedur pembentukan undang-undang pada  umumnya, Pasal 37 UUD 1945 menyebutkan:
•    Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan  dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh  sekurangkurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan  Rakyat.
•    Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan  secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk  diubah beserta alasannya.
•    Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis  Permusyawaratan Rakyat dihadiri sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah  anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
•    Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan  dengan persetujuan sekurang-kurangnya limapuluh persen ditambah satu  anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
•    Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
     Selain itu UUD 1945 merupakan sebuah konstitusi derajat tinggi,  karena berlaku sebagai hukum dasar yang menempati kedudukan tertinggi  dalam hirarki norma hukum dan perundang-undangan di Indonesia. Bentuk  negara kesatuan yang dianut Indonesia menjadikan UUD 1945 termasuk ke  dalam konstitusi kesatuan, dalam sistem pemerintahan presidensial, yang  berbentuk republik dan menganut paham demokrasi.
B.    DESKRIPSI SINGKAT PERUBAHAN UUD 1945
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa  reformasi adalah reformasi konstitusional. Reformasi konstitusi  dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD  1945 sebelum perubahan dinilai tidak cukup untuk mengatur dan  mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya  good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi  manusia. Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah  satu agenda Sidang MPR dari 1999 hingga 2002. 
•    Perubahan pertama dilakukan dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999. Arah  perubahan pertama UUD      1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan  memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga  legislatif. 
•    Perubahan kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000.  Perubahan kedua menghasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi  masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempumakan  perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan  ketentuan-ketentuan terperinci tentang HAM.
•    Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Perubahan  tahap ini mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan pasal tentang  asas-asas landasan bemegara, kelembagaan negara dan hubungan  antarlembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.
•    Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002.  Perubahan Keempat tersebut meliputi ketentuan tentang kelembagaan negara  dan hubungan antarlembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung  (DPA), pendidikan dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial,  dan aturan peralihan serta aturan tambahan. 
Empat tahap perubahan UUD 1945 tersebut meliputi hampir keseluruhan  materi UUD 1945. Naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan,  sedangkan perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan.   Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD 1945, hanya 25  (12%) butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya,  sebanyak 174 (88%) butir ketentuan merupakan materi yang baru atau telah  mengalami perubahan.
Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena  mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya  oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu  menyebabkan semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat  dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya  masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat  besar (concentration of power and responsibility upon the President)  menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances).  Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita negara yang hendak dibangun,  yaitu negara hukum yang demokratis.
| MASUKKAN TOMBOL TWEET DISINI |  | 
 
0 komentar:
Posting Komentar